Senin, 27 Oktober 2014

“DJP Masih Haramkan Fair Value”

IAI GlobalDadang Suwarna (Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Dirjend Pajak): “DJP Masih Haramkan Fair Value”
Regulasi perpajakan Indonesia mengharamkan penggunakan fair value dalam penghitungan pajak. Padahal fair value adalah prinsip standar dalam SAK berbasis IFRS.

PERHITUNGAN pajak menggunakan nilai wajar (fair value) masih tidak diperbolehkan. UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) tidak mengatur  tentang penghitungan nilai wajar tersebut. Hal itu dikatakan Dadang Suwarna, Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan belum lama ini.
Pasal 28 UU KUP menyebutkan, pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK), kecuali peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain.
Menurut Dadang, dalam konteks pajak metode pengukuran yang digunakan adalah historical cost (harga perolehan). “Sepertinya UU tidak akan berubah dan akan tetap menggunakan historical cost,” katanya di sela pembentukan Kompartemen Akuntan Pajak (KAPj) IAI, medio Maret lalu. “Tapi memang untuk menjembatani antara historical cost dan fair value tersebut, kita bikin harmonisasinya. Antara lain lewat KAPj IAI ini.”
Meski begitu, dia akan tetap menjembatani perbedaan peraturan Perpajakan yang ada dengan SAK yang sudah konvergen dengan International Financial Reporting Standard (IFRS). Langkah ini dilakukan agar ke depannya tidak terjadi dispute. “Bagaimana cara menghitung pajaknya agar metode fair values ini dapat dilakukan sehingga nantinya menjadi penghitungan yang pas? Itu semua tengah kami lakukan,” ia menegaskan.
Dadang menambahkan, selama ini untuk penghitungan fair value dengan dasar IFRS itu digunakan cara penghitungan piutang, kas, persediaan, aset, dan lainnya. Menurut dia, alasan UU masih mengatur penggunaan historical cost karena faktor keadilan. Disebutkannya, penghitungan yang berdasar nilai estimasi itu dianggap tidak adil, soalnya penghitungan nilai itu lebih ke perkiraan.
Direktur Peraturan Perpajakan II DJP, John Hutagaol, juga berpandangan sama. “Penghitungan pajak tidak bisa menggunakan perkiraan, tapi harus memakai angka yang real. Misalnya, bangun gedung senilai Rp5 miliar, kemudian beberapa saat kemudian ditaksir jadi Rp10 miliar. Tetap yang digunakan angka yang Rp5 miliar, karena dalam perpajakan tidak diperkenankan adanya estimasi,” katanya, lugas. “Harus dengan nilai yang real sehingga nilai pajaknya jelas. Kalau (penghitungan) yang lebih ke estimasi itu di akuntansi komersial.”
Kendati begitu, dia mengakui kalau menggunakan penghitungan fair value yang bersumber dari IFRS tersebut, bisa jadi pendapatan sektor pajak lebih besar lagi. Karena kalau penghitungan menggunakan nilai pasar saat ini, ketika nilai dari barang lebih besar maka nilai pajaknya pun mestinya lebih besar.
Termasuk juga dalam menggunakan mata uang fungsional di luar Rupiah dan USD. Ketika mata uang yang digunakan sedang menguat, mestinya nilai pajaknya juga lebih tinggi. Tapi, sayangnya, regulasi perpajakan tidak megakui itu. “Karena bicara pajak dasarnya adalah UU. Dan UU tidak mengatur itu semua,” John menegaskan.

Pertimbangan DJP soal Konvergensi
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang telah konvergen dengan IFRS merupakan pedoman pengelolaan keuangan bagi semua entitas di Indonesia. Menurut Dadang, kondisi ini juga menjadi kajian  di internal Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dalam pertimbangan ini, ada beberapa poin yang masih dalam pembahasan. Dari pertimbangan tersebut melahirkan keinginan menyederhanakan pelaporan keuangan, dengan catatan tanpa ada koreksi fiskal.
Menurut Dadang, ada sejumlah pertimbangan. Pertama, pertimbangan penerimaan negara di mana fungsi utama dari DJP adalah sebagai fungsi budgeter. Dalam hal ini, DJP mengakui penggunaan metode LIFO (Last In First Out) ini dapat menggerus penerimaan Pajak Penghasilan (PPh).
Pertimbangan kedua, apabila diadopsi, bakal menyalahi konsep waktu dalam pemajakan. Karena, dari sisi waktunya, pemajakan dilakukan sedekat mungkin dengan saat terealisasinya penghasilan/biaya, yaitu adanya pengakuan atas penghasilan yang meliputi keuntungan dan kerugian yang belum direalisasikan (unrealized gain/loss), marketable, dan securities.
Pertimbangan ketiga, IFRS mengakui adanya perbedaan (tercermin dari adanya DTA/DTL IAS 12 Income Taxes). Kemudian keempat, legalitas formal sebuah transaksi lebih dikedepankan dari substansi dibanding sebuah judgement, karena judgement rentan menimbulkan sengketa.
Dengan begitu, dalam sebuah penyajian laporan keuangan yang diakui oleh pihak DJP, menurut Dadang, ada sejumlah poin yang mesti dikedepankan. Yang pertama, minimal sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UU KUP dan Penjelasannya.
Yang kedua, pengungkapan yang memadai atas beberapa poin krusial, yaitu terkait, transaksi hubungan berelasi (related party transaction); perincian detail atas akun pendapatan; ekspor/lokal, terutang PPN/tidak, dikenakan pajak final/normal; pengungkapan memadai atas setiap akun penyisihan/provisi; pengungkapan memadai atas beban yang terjadi; contoh: biaya pengobatan (apakah dalam bentuk tunjangan atau reimbursement, apakah diberikan tunai atau dalam bentuk natura); kemudian pengungkapan yang memadai atas nilai perolehan aset tetap (apakah termasuk kapitalisasi PPN Pajak Masukan atau tidak).“Dan, yang ketiga, mempertimbangkan ‘kelas entitas’ agar adanya pembatasan ruang untuk professional judgement,” ungkap Dadang. *TOM


(Tulisan ini telah terbit di Majalah Akuntan Indonesia Edisi Bulan April-Mei 2014, rubrik Laporan Khusus)

Poin Penting DJP
Nomor
Keterangan
1.
Tidak ada perlakuan khusus pemeriksaan pajak atas wajib pajak (WP) yang menggunakan Pelaporan Keuangan Berbasis PSAK yang konvergen dengan IFRS
2.
Hingga saat ini, DJP belum mengadopsi IFRS. Dengan demikian, pemeriksaan dilaksanakan sesuai dengan Undang-undang dan Tata Cara Pemeriksaan yang berlaku.
3.
Pembukuan WP agar diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim, misalnya berdasarkan SAK, kecuali peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain.
4.
Apabila terdapat perbedaan perhitungan secara komersial dan fiskal, maka WP melakukan rekonsiliasi fiskal yang dapat ditelusuri perbedaannya pada rekonsiliasi fiskal (Penyesuaian Fiskal Positif dan Negatif)
5.
Dalam pemeriksaan, seringkali WP belum memenuhi ketentuan yang berlaku (pembukuan tidak lengkap, penyesuaian fiskal tidak diungkap secara memadai, dll), sehingga pemeriksa melakukan koreksi yang signifikan.


Standing Position DJP terhadap IFRS
Nomor
Pilihan
Keterangan
1
Mengadopsi IFRS
-Menyederhanakan pelaporan keuangan
-Perubahan aturan perpajakan sesuai dengan PSAK berdasarkan IFRS
-Perlu dipertimbangkan efeknya terhadap fungsi DJP sebagai pengumpul penerimaan negara
2
Tidak Mengadopsi IFRS
-Prinsip-prinsip dalam IFRS tidak bisa diterapkan dalam penghitungan pajak.
-DJP memiliki kewenangan untuk menerapkan ketentuan perpajakan.
-Selama ini telah dilakukan rekonsiliasi fiskal.
-Ada Deferred Tax Asset (DTA)/Deferred Tax Liability(DTL) di PSAK yang sebenarnya merupakan “pengakuan” atas perbedaan antara ketentuan pajak dengan ketentuan komersial.
3
Mengadopsi sebagian IFRS
-Menyederhanakan pelaporan keuangan.
-Perubahan aturan perpajakan untuk hal yang sangat penting.
-Tetap dibutuhkan rekonsiliasi fiskal.

Sabtu, 31 Maret 2012

SINOPSIS THE RAID REDEMPTION MOVIE

Berita bagus mungkin buat perfileman indonesia film buatan anak indonesia ini cukup hebat karena di kenal di dunia,the raid:redemption adalah nama filmnya film ini tergolong dalam film laga yang gosipnya menghabiskan banyak biaya dalam pembuatanya mungkin anda penasaran ini dia sinopsisnya
SINOPSI FILM THE RAID
sinopsis film the raidDi jantung daerah kumuh Jakarta berdiri sebuah gedung apartemen tua yang menjadi markas persembunyian para pembunuh dan bandit kelas dunia yang paling berbahaya. Sampai saat ini, blok apartemen kumuh tersebut telah dianggap tidak pernah tersentuh siapa pun, bahkan untuk perwira polisi yang paling berani sekalipun. Diam-diam di bawah kegelapan dan keheningan fajar, sebuah tim elit SWAT (pasukan khusus) berjumlah 20 orang ditugaskan untuk menyerbu apartemen persembunyian tersebut untuk menyergap gembong narkotik terkenal yang menguasai gedung tersebut.
Tapi ketika sebuah pertemuan dengan seorang pengintai membuka rencana mereka dan berita tentang serangan mereka mencapai sang gembong narkotik, lampu dalam gedung tiba-tiba padam dan semua pintu keluar diblokir. Terdampar di lantai enam dan tanpa jalan keluar, satuan khusus tersebut harus berjuang melawan penjahat-penjahat terburuk dan terkejam untuk bertahan hidup dalam misi penyerbuan tersebut.
The Raid: Redemption secara resmi akan dirilis pada 23 Maret 2012 dan diputar serentak di bioskop-bioskop di seluruh Indonesia dan US (internasional).
Nah lumayankan buat yang suka film laga film ini bisa menjadi favorit film minggu ini.

THE RAID REDEMPTION PHOTOS











AKUNTANSI BIAYA

Akuntansi biaya adalah suatu bidang akuntansi yang diperuntukkan bagi proses pelacakan, pencatatan, dan analisis terhadap biaya-biaya yang berhubungan dengan aktivitas suatu organisasi untuk menghasilkan barang atau jasa. Biaya didefinisikan sebagai waktu dan sumber daya yang dibutuhkan dan menurut konvensi diukur dengan satuan mata uang. Penggunaan kata beban adalah pada saat biaya sudah habis terpakai.
maupun == Definisi ==
Pengertian dan Fungsi Akuntansi Biaya menurut beberapa pakar
  • Menurut Schaum
Akuntansi biaya adalah suatu prosedur untuk mencatat dan melaporkan hasil pengukuran dari biaya pembuatan barang atau jasa. Fungsi utama dari Akuntansi Biaya: Melakukan akumulasi biaya untuk penilaian persediaan dan penentuan pendapatan.
  • Menurut Carter dan Usry
Akuntansi biaya adalah penghitungan biaya dengan tujuan untuk aktivitas perencanaan dan pengendalian, perbaikkan kualitas dan efisiensi, serta pembuatan keputusan yang bersifat rutin strategis.

Daftar isi

 [sembunyikan

[sunting] Objek biaya

Objek biaya (cost object) atau tujuan biaya (cost objective)[1] adalah sebagai suatu item atau aktivitas yang biayanya diakumulasi dan diukur. Berikut adalah aktivitas atau item-item yang dapat menjadi objek biaya:
  • Produk, Proses
  • Batch dari unit-unit sejenis , Departemen
  • Pesanan pelanggan, Divisi
  • Kontrak, Proyek
  • Lini produk, Tujuan strategis
Akuntansi biaya Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Perubahan tertunda ditampilkan di halaman iniBelum Diperiksa Akuntansi Emblem-money.svg Konsep dasar Akuntan · Pembukuan · Neraca percobaan · Buku besar · Debit dan kredit · Harga pokok · Pembukuan berpasangan · Standar praktik · Basis kas dan akrual · PABU / IFRS Bidang akuntansi Biaya · Dana · Forensik · Keuangan · Manajemen · Pajak Laporan keuangan Neraca · Laba rugi · Perubahan ekuitas · Arus kas · Catatan Audit Audit keuangan · GAAS · Audit internal · Sarbanes-Oxley · Empat Besar Kotak ini: lihat • bicara • sunting
Akuntansi biaya adalah suatu bidang akuntansi yang diperuntukkan bagi proses pelacakan, pencatatan, dan analisis terhadap biaya-biaya yang berhubungan dengan aktivitas suatu organisasi untuk menghasilkan barang atau jasa. Biaya didefinisikan sebagai waktu dan sumber daya yang dibutuhkan dan menurut konvensi diukur dengan satuan mata uang. Penggunaan kata beban adalah pada saat biaya sudah habis terpakai.
maupun == Definisi ==
Pengertian dan Fungsi Akuntansi Biaya menurut beberapa pakar
       Menurut Schaum
Akuntansi biaya adalah suatu prosedur untuk mencatat dan melaporkan hasil pengukuran dari biaya pembuatan barang atau jasa. Fungsi utama dari Akuntansi Biaya: Melakukan akumulasi biaya untuk penilaian persediaan dan penentuan pendapatan.
       Menurut Carter dan Usry
Akuntansi biaya adalah penghitungan biaya dengan tujuan untuk aktivitas perencanaan dan pengendalian, perbaikkan kualitas dan efisiensi, serta pembuatan keputusan yang bersifat rutin strategis. Daftar isi
[sembunyikan] 
   1 Objek biaya
   2 Pendekatan akuntansi biaya
   3 Revolusi dalam akuntansi biaya
   4 Pengajaran dalam akuntansi biaya
   5 Manfaat akuntansi biaya
   6 Keterbatasan dalam sistem akuntansi biaya
   7 Catatan dan referensi
[sunting] Objek biaya
Objek biaya (cost object) atau tujuan biaya (cost objective)[1] adalah sebagai suatu item atau aktivitas yang biayanya diakumulasi dan diukur. Berikut adalah aktivitas atau item-item yang dapat menjadi objek biaya:
   Produk, Proses
   Batch dari unit-unit sejenis , Departemen
   Pesanan pelanggan, Divisi
   Kontrak, Proyek
   Lini produk, Tujuan strategis
[sunting] Pendekatan akuntansi biaya
Ada tiga pendekatan yang biasa dilakukan untuk akuntansi biaya, yaitu biaya standar (standard costing), biaya berdasarkan kegiatan (activity-based costing), dan biaya berdasarkan hasil (akuntansi throughput). [sunting] Revolusi dalam akuntansi biaya
Akuntansi biaya telah mengalami perubahan yang dramatis, dimana perkembangan sistem komputer hampir menghapuskan pembukuan secara manual. Akuntansi biaya kini telah menjadi kebutuhan nyata dalam semua organisasi termasuk bank, organisasi profesional, serta lembaga pemerintah. Dewasa ini telah banyak perusahaan yang memasang metode pabrikasi produk, perdagangan produk, atau pemberian jasa dengan bantuan komputer. Adanya teknologi ini telah sangat memberikan dampak terhadap akuntansi biaya. [2] [sunting] Pengajaran dalam akuntansi biaya
Banyak bahan pelajaran yang diajarkan dalam akuntansi biaya, dimana kesemuanya selalu berkaitan dengan biaya-biaya yang mungkin timbul dalam proses produksi. Pembelajaran yang dilakukan dalam akuntansi biaya antara lain mengenai penentuan harga pokok produk: bersama dan sampingan, harga pokok proses, pembiayaan: biaya variabel dan biaya tetap, biaya overhead pabrik, departementalasi biaya overhead, biaya bahan baku, biaya tenaga kerja: langsung dan tidak langsung, pengendalian biaya, serta analisis biaya pemasaran. [sunting] Manfaat akuntansi biaya
Akuntansi biaya adalah salah satu cabang akuntansi yang merupakan alat bagi manajemen untuk memonitor dan merekam transaksi biaya secara sistematis, serta menyajikan informasi biaya dalam bentuk laporan biaya. Manfaat biaya adalah menyediakan salah satu informasi yang diperlukan oleh manajemen dalam mengelola perusahaannya, yaitu untuk perencanaan dan pengendalian laba; penentuan harga pokok produk dan jasa; serta bagi pengambilan keputusan oleh manajemen.[3] [sunting] Keterbatasan dalam sistem akuntansi biaya
Dalam akuntansi biaya juga terdapat beberapa kekurangan yang menyertainya, terutama dalam sistem akuntansi biaya yang telah ketinggalan zaman. Gejala-gejala dari sistem biaya yang ketinggalan zaman diantaranya ialah hasil dari penawaran sulit dijelaskan, harga pesaing nampak lebih rendah sehingga kelihatan tidak masuk akal, produk-produk yang sulit diproduksi menunjukkan laba yang tinggi, manajer operasional berkeinginan menghentikan produk-produk yang kelihatan menguntungkan, marjin laba sulit dijelaskan, pelanggan tidak mengeluh atas biaya naiknya harga, departemen akuntansi menghabiskan banyak waktu hanya untuk memberi data biaya bagi proyek khusus, dan biaya produk berubah karena adanya perubahan peraturan pelaporan.[3] [sunting] Catatan dan referensi
   ^ Carter, William K. (2009). Akuntansi Biaya. Salemba Empat. ISBN 978-981-4227-85-8.
   ^ Maher & Daken; Akuntansi Biaya; ed. 4; jilid 1; p. 11; Erlangga; Jakarta:1997
   ^ a b Erlina, SE; Fungsi dan pengertian akuntansi biaya; Fakultas Ekonomi Unibersitas Sumatera Utara, dalam situs Perpustakaan USU dalam format PDF
Books-aj.svg aj ashton 01b.svg Artikel bertopik akuntansi ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya. Kategori:
   Akuntansihttp://id.wikipedia.org/wiki/Akuntansi_biaya

Senin, 12 Maret 2012

Apakah Kasir itu Staff nya Chief Accountant?

Kasir, memang salah satu posisi strategis yang di perusahaan-perusahaan non-bank kerap menjadi dilematis. Bagaimana tidak strategis, kasirlah yang mengumpulkan sekaligus menditribusikan uang (kas) perusahaan. Menjadi dilematis apabila di satu sisi kasir pegang fisik uang dan cek, sementara di sisi lainnya dia juga menjalankan fungsi pencatatan kas.
Lalu, “Apakah kasir itu staffnya chief accountant atau direktur?” Tanya Mitha via telepon, dengan nada setengah kesal dan putus asa.
Mitha (nama saya samarkan), salah satu mantan staf saya yang sekarang sudah menjadi chief accountant di salah trading company, bersungut-sungut lantaran sang kasir tidak menjalankan instruksinya.
Yang bikin Mitha putus asa, direktur perusahaan yang menurut Mitha “ada hati” sama sang kasir malah membela dengan mengatakan:
She (kasirnya) is my staff, not yours. She’s supposed to report to me as a director, not you.
Ya, direkturnya memang bule (expat,) karena kebetulan perusahaan dimana Mitha bekerja adalah perusahaan PMA.
Secara eksplisit direkturnya mengatakan kepada Mitha bahwa kasir bukan bawahannya chief accountant, tetapi bertanggungjawab langsung kepada direktur. Dan bagi Mitha itu tidak benar, tetapi dipaksakan karena “ada unsur asmara.”
Mitha, kamu terlalu apriori, buru-buru mengkaitkan pekerjaan dengan urusan pribadi,” saya membuka obrolan ketika akhirnya kami bertemu (makan siang.) Hubungan saya (penulis) dan Mitha sudah seperti kakak-adik, mungkin karena saya cukup lama menjadi mentornya, meskipun sampai sekarang dia masih memanggil saya “Pak” atau “Babeh” dalam situasi informal.
Nggak lah beh. Rumor direktur ada hubungan asmara dengan kasir itu sudah menjadi pergunjingan semua orang di tempat kerja saya,” Mitha menyanggah.
Kalau mereka doyan gosip, apa kamu juga harus ikut-ikutan gosip? Level kamu, sebagai Chief Accountant, sudah bukan staf biasa, mestinya tidak ikut-ikutan seperti itu,” saya mengingatkan.
Mendapat teguran seperti itu, Mitha akhirnya menjelaskan bahwa kekesalannya bukan karena gosip hubungan asmara itu. Lebih tepatnya dia bingung lantaran:
  • Di satu sisi, Mitha bisa mengerti bahwa dirinya tidak boleh mencampuri urusan penerimaan dan distribusi kas—karena rentan terhadap penyelewengan.
  • Di sisi lainnya, pencatatan (penjurnalan) kas harian dijalankan oleh kasir. Bagimanapun juga akurasi dan ketepatwaktuan input kas ke dalam sistem akan mempengaruhi laporan keuangan secara keseluruhan. Akurasi dan ketepatwaktuan laporan keuangan—termasuk kas—adalah tanggungjawab Mitha sebagai chief accountant.
Seperti sudah saya sampaikan di awal tulisan, fenomena seperti ini memang sudah menjadi pemandangan yang lazim di perusahaan-perusahaan non-bank, terutama sekali yang berskala kecil hingga menengah. Kasus Mitha di atas hanya salah satu diantara banyaknya keluhan yang pernah saya terima.
Kasus Mitha saya angkat menjadi tulisan karena saya pikir, mudah-mudahan ini bisa menjadi bahan belajar—terutama bagi kawan-kawan mungkin saja menjadi seorang kasir atau chief accountant, atau bahkan direktur di masa-masa yang akan datang. Kita tak pernaah tahu bukan?
Pertanyaannya: Diantara Mitha dan direkturnya, siapa yang benar?
Oke. Kita tak perlu mencari siapa yang benar atau salah. Pertanyaannya kita ubah menjadi:
Posisi kasir, bertanggungjawab langsung kepada chief accountant atau direktur perusahaan?
Ini salah satu wujud dari kerancuan pandangan mengenai perbedaan antara “Akuntansi” dan “Keuangan.” Batasnya memang sangat tipis, terlebih-lebih bagi masyarakat awam.
Bagi publik—termasuk manajemen dan pemilik perusahaan yang lebih banyak berasal dari latarbelakang dispilin ilmu non-keuangan, akuntansi dan keuangan adalah sama, bisa ditukarposisikan, dan bisa dicampuradukan.
Kerancuan pandangan publik terhadap akuntansi dan keuangan, jelas terlihat dari berbagai contoh kasus. Misalnya: Iklan lowongan yang berbunyi:
Dicari Credit Analyst. Syarat: S1 Akuntansi
Bayangkan, orang HRD yang nota benanya adalah orang manajemen, yang mestinya tahu persis job description masing-masing posisi/jabatan, masih bingung membedakan antara posisi akunatnsi (accounting) dengan keuangan (finance.) Untuk posisi credit analyst, yang dicari mestinya orang manajemen keuangan, bukan akuntansi.
Orang manajemen mana ngerti analisa kredit” kata salah satu rekan HRD manager.
Lalu, apa kamu pikir orang akuntansi tahu bahwa menyetujui kredit bagi calon debitur yang tidak punya rekening listrik, masih ngekost, tidak punya KTP dan KK, adalah berisiko tinggi? Apa kamu pikir orang akuntansi ngerti bila uang muka kredit dia atas 60% tidak profitable lagi?” saya balik bertanya.
Kalau orang manajemen yang konsentrasinya marketing, produksi atau sumber daya manusia, apalagi lulusan teknik sipil, ya iyalah tak akan bisa melakukan analisa kredit. Tapi kalau orang manajemen yang konsentrasinya keuangan (alias manajemen keuangan) ya pasti ngertilah.
Bukan salah mereka juga. Ketika ditanya “kerja di bagian apa?” misalnya, untuk alasan penyederhanaan lalu kita menjawab “bagian keuangan,” padahal posisi sesungguhnya adalah bookkeeper atau accounts payable, atau accounts receivable.
Sampai pada batas tertentu, perbedaan antara akuntansi dan keuangan mungkin bukan sesuatu yang perlu dijadikan persoalan, apalagi hambatan. Tapi pada titik tertentu, kerancuan batas antara keuangan dengan akuntansi bisa mencitakan kondisi dilematis yang bahkan mungkin lebih besar dibandigkan kasusnya Mitha.
Jika dibuat dalam kalimat singkat: akuntansi (accounting) adalah alat pengukur (measurer), sedangkan keuangan (finance) adalah alat pengelola (manajer.)
Ref: Saya sudah pernah bahas secara singkat di tulisan ini
Sehingga, akuntansi—dalam konteks ini—adalah alat pengukur efektifitas kinerja pengelolaan keuangan dan perusahaan secara keseluruhan.
KASIR, adalah staf pelaksana di bagian keuangan, BUKAN akuntansi. She isn’t supposed to do any accounting tasks. She isn’t accountant anyway, but a finance staff. Sehingga apa yang diakatakan oleh direkturnya Mitha, ada benarnya, bahwa: kasir tidak bertanggungjawa langsung kepada chief accountant. Tetapi juga tidak bertanggungjawab langsung kepada direktur.
Jika ada bagian keuangan, kasir mestinya bertanggungjawab kepada manajer keuangan. Manajer keuangan kemudian bertanggungjawab kepada Treasurer. Di ujung paling atas, treasurer bertanggung jawab kepada Chief Financial Officer (CFO) alias direktur keuangan.
Lalu, bagimana dengan tugas pencatatan (penjurnalan) kas ke dalam buku perusahaan? Apakah boleh dikerjakan oleh seorang kasir?
Idealnya tidak boleh. Kasir yang pegang uang, tidak boleh sekaligus menjalankan fungsi pencatatan (penjurnalan). Jika itu sampai terjadi, cepat atau lambat akan menjadi celah kelemahan sistim pengendalian kas yang paling rentan dibobol oleh tindak penyalahgunaan (penyelewengan).
Mestinya, sekalilagi dalam kondisi ideal, kasir hanya menjalankan fungsi pengumpulan dan pendistribusian kas semata, tak lebih dan tak kurang. Sedangkan pencatatan (input jurnal) dan pengelolaan data dilakukan oleh seorang cash accountant yang ada di bawah chief accountant seperti Mitha. Jika tidak ada ‘cash accountant’ maka pencatatan dilakukan oleh masing-masing accountant (jika A/R dilakukan oleh A/R accountant, atau jika A/P dilakukan oleh A/P accountant).
Untuk lebih konkretnya, saya buatkan contoh kasus:
Hari ini, Sabtu, adalah jadwal pembayaran kepada supplier. Katakanlah tidak ada cash accountant. Nah, A/P accountant menyerahkan daftar utang (A/P) jatuh tempo—dilengkapi dengan nota-nota—yang harus dibayar hari ini, kepada kasir.
Selanjutnya, kasir menyiapkan cek dan kas berdasarkan daftar tersebut, lalu membayarkannya kepada supplier. Selesai pembayaran, daftar A/P, voucher dan nota yang terbayar dikembalikan ke A/P accountant dengan stempel “LUNAS,” lengkap dengan tanda terima pembayaran dari supplier.
Dari nota dan voucher A/P yang telah distempel LUNAS (disertai dengan tanda terima pembayaran), A/P accountant memasukan jurnal:
[Debit]. Utang Dagang (A/P) = xxxx
[Kredit. Kas = xxxx
Dengan demikian, maka otomatis pekerjaan pencatatan kas juga terlaksana dengan lancar tanpa perlu mencampuradukan tugas kasir (finance staff) dengan accountant. Selanjutnya, tinggal chief accountant melakukan verifikasi (setiap menjelang hari kerja berakhir) antara voucher lunas dengan input payment (pelunasan) yang dilakukan oleh A/P accountant—tanpa perlu menganggu kasir.
Prosedur serupa, juga bisa dilakukan untuk kas masuk. Hanya saja yang terlibat disini adalah A/R accountant.
Jika tidak ada cash accountant, sedikit permasalahan akan timbul saat menjelang penutupan buku, yaitu: pekerjaan rekonsiliasi kas (kecil maupun bank). Tidak mungkin rekonsiliasi kas dilakukan oleh A/P accountant maupun A/R accountant. Supaya tidak melibatkan kasir, pekerjaan ini bisa dilakukan oleh chief accountant itu sendiri.
Tentu. Untuk kelancaran operasional sehari-hari, bagaimanapun juga, koordinasi antara kasir dan para akuntan (A/R, A/P, Fixed Asset, Tax dan Chief Accountant) tetap harus berjalan dengan baik. Bukan hanya dengan kasir, para akuntan juga harus membangun koordinasi dan partnership kerja yang baik dengan semua bagian di dalam perusahaan.
Itulah jawaban saya terhadap pertanyaan Mitha tentang: “Apakah kasir itu staf-nya chief accountant atau direktur?” Yang jelas semua staf termasuk chief accountant ya stafnya direktur. Hanya saja, direktur mestinya membangun alur sistim kerja yang sistematis bagi setiap bawahannya, termasuk yang di bagian akuntansi maupun keuangan, sehingga tidak terjadi tumpang tindih tugas di satu sisinya, dengan tetap bersinergi di sisi lainnya. Selamat berakhir pekan.

About the Author

Administrator
Seorang Akuntan yang prihatin akan mahalnya biaya pendidikan dan bahan ajar, khususnya terkait dengan bidang Akuntansi, Keuangan dan perpajakan di Indonesia. Dengan segala keterbatasannya dia ingin memberi manfaat bagi orang banyak di wilayah yang dikuasainya, yaitu: Akuntansi, Keuangan dan Pajak.

About Author

Administrator
Seorang Akuntan yang prihatin akan mahalnya biaya pendidikan dan bahan ajar, khususnya terkait dengan bidang Akuntansi, Keuangan dan perpajakan di Indonesia. Dengan segala keterbatasannya dia ingin memberi manfaat bagi orang banyak di wilayah yang dikuasainya, yaitu: Akuntansi, Keuangan dan Pajak.

Bagaimana caranya menjurnal modal usaha berasal dari utang?

Persisnya, uang pinjaman untuk mendirikan usaha itu dicatat sebagai utang atau modal? Sebelum pusing-pusing berpikir tentang bagaimana caranya menjurnal modal usaha berasal dari utang, menurut anda apakah pertanyaan ini wajar? Silahkan ambil waktu beberapa detik atau menit untuk berpikir… Fokuskan pikiran anda di sini: “modal usaha berasal dari utang….” atau dibalik “utang untuk modal usaha”… Apakah itu mungkin?
Bayangkan bentuk NERACA. Dari sana anda bisa melihat bahwa “utang” dan “modal” adalah dua hal yang samasekali berbeda. Utang adalah kewajiban (liability), sementara modal adalah ekuitas (equity). Lalu darimana istilah “modal usaha berasal dari utang” atau “modal yang bersumber dari utang”? Utang ya utang, modal ya modal—meskipun sama-sama berada di sisi passiva.
‘Modal-usaha-berasal-dari-utang’ ini adalah istilah rancu yang bagi masyarakat awam mungkin terdengar wajar, sehingga bisa dimaklumi. Tetapi akan menjadi aneh, jika mindset (pola pikir) seperti itu digunakan oleh orang yang menyebut diri sebagai “orang keuangan”—apalagi orang akuntansi, terutama ketika berbicara tentang perusahaan yang berbetuk perseroan terbatas (PT).
Saya ingin menegaskan: TIDAK ada modal yang berasal dari utang, terutama di perusahaan-persuhaan yang berbentuk perseroan terbatas (PT.)
Jika yang dimaksudkan adalah ASET (kas, persediaan, aktiva tetap) IYA—memang bisa dibiayai dari 2 macam sumber, yaitu:
  • Utang atau pinjaman—yang dikenal dengan istilah “debt financing”; dan
  • Modal (penerbitan saham)—yang dikenal dengan istilah “equity financing

Tetapi modal (equity) yang berasal dari utang, sekalilagi, TIDAK mungkin. Untuk kas yang digunakan untuk membeli aktiva tetap atau membiayai operasional perusahaan, jika berasal dari kreditur sudah pasti diakui sebagai “utang.” Mengapa perlu berpikir tentang pengakuan “modal”?
Saya bisa mengerti, kerancuan ini timbul akibat kelaziman pandangan umum yang menggunakan sebutan “modal” untuk menggantikan kata kas dan aktiva-aktiva lainnya yang digunakan untuk membiaya operasional perusahaan atau memulai usaha.
Misalnya: Ketika saya menyarankan agar warung mie rebus sebelah sekalian jual pulsa—supaya saya bisa ngebon, biasanya Mbok Jum jawab: “Ndak ada modal Mas Bro.”
Lalu saya bertanya: “Lho, memangnya Mbok Jum perlu modal, bukankah Mbok Jum bisa pakai uang hasil jualan mie rebusnya untuk beli pulsa ke pengepul pulsa?”.
Mbok Jum menjawab: “Lha ya itu yang Mbok makusdkan, uang hasil jualannya ndak cukup.”
Itu cerita yang lumrah dalam skup usaha mikro, macam warungnya Mbok Jum. Di skala yang lebih besar, ceritanya sedikit berbeda tetapi nuansanya tetap sama; bahwa kas yang digunakan dalam membiayai operasional perusahaan disebut “modal,” apalagi kas yang dipakai untuk memulai suatu usaha, sudah pasti disebut modal.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa ada banyak orang cerdas yang bisa sukses menjalankan usaha dengan modal yang minimal, bahkan tak sedikit yang memulai usahanya dengan tanpa modal. Salah satu cara untuk dapat menjalankan usaha tanpa modal adalah dengan utang—pinjam dari bank atau institusi keuangan tertentu atau perseorangan.
Sehingga, istilah cari “utang untuk modal usaha” adalah sesuatu yang lumrah dalam praktek bisnis. Tetapi, dalam adminsitrasi pembukuannya (akuntansi), tetap saja utang dicatat sebagai utang, sementara modal ya tetap dicatat sebagai modal. Mencatat pinjaman sebagai modal adalah kesalahan yang luar biasa fatal, meskipun pinjaman itu dipakai untuk memulai usaha.
Tapi perusahaan tempat saya kerja, kenyataannya memang memakai pinjaman sebagai modal untuk memulai usaha” mungkin ada yang ngeyel seperti itu.
Supaya tidak perlu ngeyel, saya ada satu contoh kasus:
Bosan menjadi pegawai yang terikat jam kerja dari pukul 9 pagi hingga 5 sore, Adrian berkeinginan untuk memulai usaha.
Untuk memulai usaha Adrian butuh modal Rp 2 Milyar. Adrian memeriksa uang tabungannya hasil bekerja selama beberapa tahun. Setelah ditambahkan dengan harta tak bergerak yang dimiliki, total nilai harta Adrian ternyata hanya sekitar Rp 600 juta.
Dengan proposal (business plan) yang meyakinkan, tanggal 7 Maret Adrian berhasil mengajak Aileen dan Hendro—mantan teman kuliahnya—untuk bergabung dengan menyetorkan modal masing-masing sebesar sebesar Rp 500 juta. Mereka bertiga sepakat untuk mendirikan sebuah perusahaan yang berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT.)
Dibandingkan dengan business plan yang membutuhkan Rp 2 milyar, kas yang terkumpul sampai sejauh ini baru mencapai Rp 1,600,000,000 (=600 juta + 500 juta + 500 juta). Itu artinya masih kurang Rp 400,000,000. Bagaimanapun juga mereka tetap akan menjalankan rencana untuk mendirikan perusahaan yang akan diberi nama PT. JAK. Kekurangan uang Rp 400 juta rencananya akan ditutup dengan pinjaman alias “utang” dari Bank.
Tanggal 9 Maret, mereka menemui seorang notaris untuk membuat akte pendirian usaha PT. JAK yang menerbitkan 16,000 lembar saham @100,000 untuk mewakili “MODAL” awal yang disetorkan sebesar Rp 1,600,000,000 oleh Adrian, Aileen dan Hendro.
Dengan membawa Akte pendirian yang dibuat oleh notaris, di hari yang sama (9-Maret) Adrian yang baru saja ditunjuk menjadi Direktur Utama membuat rekening bank atas nama PT. JAK, kemana ketiga pemegang saham (Adrian, Aileen dan Hendro) akan mentransfer uang sebesar Rp 1,600,000,000, seperti yang tercantum di dalam akte pendirian perusahaan.
Tanggal 20 Maret, PT. JAK berhasil memperoleh pinjaman dari Bank ABC sebesar Rp 400,000,000. Sehingga total kas yang terkumpul di rekening bank PT JAK sudah mencapai Rp 2,000,000,000 seperti yang tercantum di business plan (proposal.)
Jika beberapa hari kemudian anda menjadi pegawai accounting PT. JAK, bagaimana anda menjurnal transaksi-transaksi tersebut?
Pertama, anda mencatat transfer uang masuk dari Adrian, Aileen dan Hendro dengan jurnal:
Tanggal 9-Maret-2012:
[Debit]. Kas Bank = Rp 1,600,000,000
[Kredit]. Modal, 6000 lembar saham @100,000 = Rp 600,000,000
[Kredit]. Modal, 5000 lembar saham @100,000 = Rp 500,000,000
[Kredit]. Modal, 5000 lembar saham @100,000 = Rp 500,000,000
(Note: Untuk penerimaan setoran modal Rp 600 juta dari Adrian, 500 juta dari Aileen dan 500 juta dari Hendro, sekaligus penerbitan 16,000 lembar saham @100,000.)
Berikutnya anda menjurnal kredit yang dicairkan dari Bank ABC sebesar Rp 400 juta dengan jurnal:
[Debit]. Kas Bank = Rp 400,000,000
[Kredit]. Utang – Bank ABC = Rp 400,000,000
Dari sini bisa dilihat bahwa: Pada perusahaan perseoran terbatas (PT), adalah tidak mungkin mengakui pinjaman dari bank sebagai “modal”—meskipun itu diperoleh sebelum perusahaan mulai beroperasi. Seperti saya sebutkan di awal: utang adalah utang, modal adalah modal—dua hal yang samasekali berbeda. Sehingga tidak mungkin ada modal yang bersumber dari pinjaman atau utang. Tidak mungkin ada utang untuk modal.
Bahwa nanti kas yang berasal dari pinjaman bank tersebut digunakan untuk membeli aktiva tetap atau membiayai operasional perusahaan, IYA, tentu saja bisa. Itu artinya sebagian dari aktiva perusahaan memang bersumber dari utang. Tetapi tidak ada modal yang bersumber dari utang.
Bagimana jika utang bank yang Rp 400,000,000 dalam contoh kasus di atas diperoleh sebelum pendirian PT. JAK (tanggal 5 Maret misalnya,) lalu Adrian menyetorkan Rp 1,000,000,000 (=600 juta + 400 juta) sebagai modal? Apakah berarti modal perusahaan yang sebesar Rp 400 juta berasal dari pinjaman atau utang?” Mungkin ada yang berpikir demikian.
Jika demikian, maka itu artinya modal perusahaan memang sebesar Rp 2,000,000,000 (bukan 1,600,000,000 dan TANPA embel-embel utang), sehingga jurnalnya menjadi:
9 Maret 2012:
[Debit]. Kas Bank = Rp 2,000,000,000
[Kredit]. Modal, 10000 lembar saham @100,000 = Rp 1,000,000,000
[Kredit]. Modal, 5000 lembar saham @100,000 = Rp 500,000,000
[Kredit]. Modal, 5000 lembar saham @100,000 = Rp 500,000,000
PT. JAK tidak mengakui adanya utang. Sehingga, tetap saja, pada perusahaan perseroan terbatas (PT), tidak ada modal yang bersumber dari utang, tidak ada utang untuk modal.
Lho, bagaimana dengan Rp 400 juta yang dipinjam oleh Adrian, bukankah itu digunakan sebagai setoran modal usaha?
Betul. Tetapi yang punya utang kan Adrian pribadi, ngapain PT. JAK yang repot mencatatnya. Iya kan?
Jika Aileen yang pinjam misalnya, berarti itu utang pribadinya Aileen. Jika Hendro yang pinjam ya utang pribadinya Hendro.
Bagaimana jika mereka bertiga yang pinjam? Apakah masih bisa disebut utang pribadi mereka?
Pertama, bank tak mungki memberi satu pinjaman atas nama 3 orang debitur sekaligus. Kedua, kita ‘ndablek-ndablekan’ deh, anggaplah bank-nya ijinkan, tetap saja pinjaman itu pinjaman pribadi mereka bertiga. Tidak ada hubungannya dengan PT. JAK. Kecuali pinjaman tersebut atas nama PT. JAK yang diperoleh setelah PT. JAK berdiri, nah itu bisa dianggap utang perusahaan. Berarti modalnya PT. JAK hanya Rp 1, 600,000,000—seperti di jurnal pertama.
Dibikin berputar-putar seperti apapun, di perusahaan yang berbadan hukum PT, tidak ada modal yang bersumber dari utang. Tidak ada utang untuk modal.
Yang tak kalah perlunya untuk dipahami adalah perbedaan karakter utang dengan modal:
  • Utang – Harus dikembalikan pokok plus bunga (baik secara dicicil atau sekaligus) kepada kreditur, terlepas apakah perusahaan untung atau merugi.
  • Modal – Dikembalikan dalam bentuk dividen kepada pemagang saham (investor), bila perusahaan dalam kondisi untung. Jika perusahaan merugi, pemegang saham ikut menanggung kerugian tersebut—dalam artian, uang yang diterima tidak perlu dikembalikan.

Ini sangat fundamental untuk diketahui. Ketidakpahaman akan hal ini bisa menjadi sumber kebingungan dan keragu-raguan yang bisa menghantui anda selamanya. Dari perbedaan karakter utang dan modal di atas, jelas terlihat bahwa yang namanya pinjaman (utang) tidak mungkin bisa diakui sebagai modal. Bayangkan jika pinjaman diakui sebagai modal, apa yang akan anda lakukan setiap kali perusahaan membayar cicilan utang? Mudah-mudahan tidak ada lagi berpikir tentang modal usaha yang berasal dari pinjaman. Utang ya utang, modal ya modal.
Administrator